Oleh : Muhammad Ikhyar Velayati
Jakarta - Harian Swara Jiwa -Presiden Amerika Serikat hingga pemimpin negara Uni Eropa hingga saat ini belum memberikan ucapan selamat kepada pasangan Capres Prabowo-Gibran yang berhasil menang pilpres 2024 versi quick qount dari berbagai lembaga maupun real qount KPU yang memperoleh suara sekitar 58.83% hingga detik ini. Walaupun hasil quick count bukan keputusan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Namun, sejarah telah membuktikan bahwa perhitungan quick count Pemilu tidak pernah salah.
Para pemimpin Uni Eropa dan Amerika Serikat tentu menyadari hal ini, pertanyaannya kenapa mereka belum memberikan ucapan selamat kepada pemenang pilpres Prabowo-Gibran, Hal ini jadi tanda tanya besar. Sementara ada sekitar 14 kepala negara sudah memberikan ucapan selamat , termasuk di dalamnya pemimpin negara besar seperti Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Xi Jinping, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, PM India Narendra Modi, PM Inggris Rishi Sunak.
Mengutip ucapan Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat John Kirby, bahwa mereka akan mengucapkan selamat setelah KPU resmi mengumumkan siapa yang jadi pemenang dalam pilpres 2024. Ucapan ini normatif dan sangat standard memang, tetapi ucapan tersebut juga di barengi dengan pernyataan bahwa HAM telah menjadi fondasi kebijakan luar negeri Presiden AS di bawah kepemimpinan Joe Biden. Statemen John Kirby tersebut terlihat Amerika Serikat tidak nyaman dengan kemenangan Prabowo Subianto tersebut, begitu juga sikap Uni Eropa biasanya seiring sejalan dengan AS sebagai sekutu strategis mereka.
Perang Dagang Indonesia Vs Uni Eropa Dan AS
Sikap AS Dan Uni Eropa yang tidak respek terhadap kemenangan Prabowo-Gibran tidak lepas dari perang dagang yang terjadi antara Indonesia dengan Uni Eropa dan AS terkait kebijakan Presiden Jokowi yang melarang ekspor nikel serta hilirisasi nikel yang berdampak buruk dan merugikan perusahaan industri baja di negara negara Uni Eropa, di sisi lain kebijakan Jokowi tersebut justru membuat Indonesia mendapat keuntungan hingga 10 kali lipat, selain itu kebijakan hilirisasi juga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar.
Walaupun Indonesia kalah dalam gugatan Uni Eropa menyangkut kebijakan hilirisasi tersebut, tetapi Presiden Jokowi tetap ngotot mengajukan banding atas keputusan WTO yang tidak adil serta mengusik kedaulatan RI sebagai negara berdaulat.
Di sisi lain, Indonesia juga berhadapan dengan kebijakan pemerintah AS yang merugikan ekonomi Indonesia. Kebijakan AS untuk memberikan subsidi hijau bagi mineral yakni nikel untuk kendaraan listrik membuat baterai yang mengandung komponen sumber Indonesia tidak bisa masuk ke pasar Amerika Serikat .
Perang dagang antara Uni Eropa dan AS dengan pemerintahan Jokowi juga terjadi di sektor komoditi sawit beserta turunannya. Uni Eropa dengan dukungan AS melarang impor CPO dengan alasan industri sawit telah mengakibatkan deforestasi, degradasi, korupsi dan pelanggaran HAM. Sejatinya larangan ini karena banjirnya sawit di pasar Eropa mengakibatkan minyak nabati yang di produksi negara negara Eropa yang berasal dari perkebunan bunga matahari, kedelai terancam bangkrut karena kalah bersaing.
Untuk menghentikan pasokan minyak sawit di pasar internasional, Uni Eropa menerbitkan resolusi tentang minyak kelapa sawit dan deforestasi hujan serta mendesak agar sawit tidak si masukkan pada kategori bahan baku.
Padahal sawit merupakan salah satu komoditas andalan hasil perkebunan Di Indonesia yang berperan terhadap peningkatan neraca perdagangan , menurunkan inflasi, mengurangi belanja pemerintah, dan meningkatkan real capital return.
Belum lagi persoalan dinamika geo politik global, AS dan Uni Eropa melihat Indonesia lebih cenderung bergeser ke China terkait isu isu menyangkut ekonomi-politik khususnya desentralisasi yang sedang trend terjadi antar negara.
Hak Angket Agenda Asing Mengacu pada kondisi objektif di atas, tentu saja kemenangan Prabowo-Gibran membuat galau pihak UE maupun AS. Tergambar di mereka pertarungan dagang produk sawit dan nikel dengan Indonesia akan berlangsung lebih lama dan alot yang bukan saja merugikan secara ekonomi tetapi juga berpotensi membuat bangkrut perusahaan mereka yang bergerak di industri baja maupun perkebunan minyak nabati, hal ini tentu bisa berdampak pada stabilitas ekonomi maupun politik di negara tersebut.
Untuk itu Uni Eropa dan AS sangat punya kepentingan untuk mempengaruhi hasil pilpres 2024 yang ada di Indonesia, agar rezim paska Jokowi lebih akomodatif terhadap kepentingan ekonomi-Politik kedua negara besar tersebut.
Kepentingan asing ini bertemu dengan berdurasi lokal yang selama ini hidup dan besar dari fee export dan import bahan mentah. Kebijakan hilirisasi Presiden Jokowi di berbagai produk dan nikel membuat mereka kehilangan pendapatan dan kekuasaan.
Maka tidak heran isu yang di angkat timses 01 dan 02 selalu sejalan dengan kepentingan asing untuk menggerus suara pasangan Prabowo-Gibran, mulai dari isu HAM, IKN, sisi negatif hilirisasi, stigma kegagalan food estate hingga politik dinasti yang di lekatkan ke Jokowi.
Walaupun branding negatif terhadap pasangan Prabowo-Gibran gagal menghempas arus balik suara rakyat yang deras memilih pasangan no 2 tersebut sehingga mampu menang dengan hasil di luar perkiraan banyak orang, pihak asing beserta agennya tidak tinggal diam.
Usaha untuk melegitimasi kemenangan prabowo-Gibran masih berlangsung secara terstruktur, sistematis dan massif, tentunya dukungan terbuka maupun tertutup di duga tetap di berikan oleh kekuatan ekonomi global, karena siapa calon pemimpin Indonesia akan mempengaruhi peta ekonomi-politik di tingkat Asean maupun negara selatan-selatan
Persoalannya, pihak yang kalah pesimis akan bisa mendelegitimasi kemenangan yang spektakuler pasangan Prabowo-Gibran jika memakai jalur konstitusional, yaitu menyerahkan gugatan ke MK sesuai dengan hukum dan perundang undangan yang berlaku, karena kesulitan menemukan dokumen, bukti dan saksi dalam persidangan sebagai landasan hakim untuk menyatakan telah terjadi kecurangan secara sistematis, terstruktur dan massif sehingga punya alasan untuk menetapkan pemilu ulang.
Maka jalur yang paling mungkin melalui pengadilan politik dalam bentuk hak angket. Tentu saja proses hak angket ini akan di iringi dengan strategi parlemen jalanan untuk melakukan tekanan politik sekaligus branding pemilu curang sebagai prakondisi sekaligus alat mobilisasi massa aksi di KPU yang berujung pada pengepungan istana jika deal politik tidak tercapai. Tetapi yang jelas mayoritas rakyat pemilih Prabowo dan kaum nasionalis tidak akan tinggal diam jika negara dan demokrasi Indonesia di obok obok oleh asing beserta para agennya, kita lihat saja ke depan gimana ending akhir suksesi kepemimpinan yang akan terjadi.(Tim)
0 komentar:
Posting Komentar