Medan,harianswarajiwa.com
Rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) membahas sengketa tanah antara Pengurus Besar (PB) Al Washliyah, dengan Kelompok Tani Himpunan Petani Penggarap Lahan Kosong Negara (HPPLKN), berakhir ricuh.
Masyarakat yang tergabung dalam HPPLKN yang dipimpin Unggul Tampubolon menuding Komisi A DPRD Sumut tidak netral dan terkesan berpihak pada PB AL Washliyah.
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi A, Andre Alfisa, awalnya sempat diskors selama setengah jam karena pihak Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional, Agraria dan Tata Ruang (BPN/ART) Sumut, belum hadir.
Ketika skors dicabut dan rapat yang digelar di Ruang Aula Gedung DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Rabu (05/04/2023), dilanjutkan, Pengurus PB Al Washliyah, Ismail Efendi, mengungkap bahwa pihak PB Al Washliyah telah melakukan pembayaran tahap I, Rp 2 miliar pada 10 September 2004 kepada PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) II untuk pembayaran panjar ganti rugi atas tanah seluas l.k 30 Hektar di Kebun Helvetia.
Kemudian berdasarkan surat direksi PTPN II Kepada PB. Al Washliyah tentang Surat Perintah Setor (SPS) tanggal 16 September 2004, maka pada 17 September 2004, PB. Al Washliyah melakukan pembayaran tahap II, Rp5,950 miliar.
Setelah itu, pada 26 Oktober 2004, Ismail Efendy atas nama PB. Al Washliyah, menyetor kembali uang Rp530 juta kepada PTPN II untuk pembayaran ganti rugi terhadap selisih pengukuran seluas dua hektar akibat adanya pengukuran efektif terhadap lahan seluas 30 hektar di Kebun Helvetia.
“Berdasarkan surat permohonan PB Al Washliyah pada 24 Desember 2004 tentang permohonan pengaturan penguasaan pemilikan pemanfaatan penggunaan tanah di Pasar IV Desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, seluas 30 hektar kepada Gubernur Sumatera Utara, oleh Gubernur melayangkan surat kepada Kanwil BPN Sumatera Utara dengan surat bernomor 593/961 tanggal 07 Maret 2005 untuk pengukuran lahan,” kata Ismail.
Lewat Keputusan Gubernur Sumut Nomor 593/2278/K/2005 tanggal 08 Desember 2005, sambung Ismail, gubernur memberikan izin kepada PB. Al Washliyah yang berkedudukan di Jakarta untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah eks HGU PTPN II seluas 32 hektar yang terletak di Pasar IV Desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Tapi ketika PB. Al Washliyah memohonkan penerbitan sertifikat kepada BPN Deli Serdang, ditolak dengan alasan bahwa di atas tanah tersebut ada tuntutan hukum 65 masyarakat penggarap dengan SKPTL 1954 terhadap PTPN II,” ungkap Ismail.
Ismail meminta kepada DPRD Sumut untuk bisa menjembatani penyelesaian sengketa PB. Al Washliyah dengan KT. HPPLKN, terkait tanah yang dimaksud.
Dia mengaku bahwa pihaknya sudah memberikan tali asih dan ganti rugi tanaman kepada masyarakat yang menguasai tanah tersebut.
Selain itu, dia juga mengatakan bahwa status hukum yang dimiliki oleh PB. Al Washliyah sudah kuat karena telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkcraht. Bahkan dia menyebutkan surat perintah eksekusi sudah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam.
Dibantah masyarakat
Ketua KT.HPPLKN, Unggul Tampubolon, membantah hal tersebut. Dia mempertanyakan alas hak yang dimiliki oleh PB. Al Washliyah.
Sebab, dirinya bersama anggota KT. HPPLKN telah memperjuangkan dan menduduki lahan yang dimaksud sejak tahun 2000.
“Bagaimana mau dieksekusi bila BPN belum menerbitkan sertifikat atas tanah itu. Hanya BPN yang bisa menetapkan, siapa pemilik tanah. Bukan pengadilan. Apalagi hukum di negeri ini sudah tidak jelas,” kata Unggul.
Sementara itu, Johan Merdeka, anggota KT. HPPLKN, menegaskan kepada peserta rapat bahwa Al Washliyah hanya berdasarkan permohonan kepada PTPN II.
Padahal, tanah Helvetia tersebut adalah bagian dari 5873,6 Hektar eks HGU PTPN II yang sudah dikeluarkan dari HGU sebagai hasil dari perjuangan masyarakat ketika reformasi dimana saat itu Almarhum Presiden Abdulrahman Wahid mengamanatkan, tanah untuk rakyat.
“Alas hak kami adalah UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang mengamanatkan setiap rakyat memperoleh tanah seluas dua Hektar. Pembelian dilakukan tahun 2004. Ada apa PB. Al Washliyah membeli tanah tersebut? Karena sejak tahun 1998, tanah itu sudah dikuasai rakyat,” kata Johan Merdeka.
Perwakilan dari Biro Pemerintahan Setdaprovsu menjelaskan bahwa berdasarkan SK BPN Nomor 42 Tahun 2002, disebutkan lahan-lahan yang tidak diperpanjang lagi, dikeluarkan dari HGU PTPN II.
Selain itu, berdasarkan surat direksi PTPN II bernomor Dir II.7/2004 tentang Penarikan Aset, PTPN II telah menarik aset mereka seluas 30 Hektar dari PB. Al Washliyah.
Penjelasan Biro Hukum Setdaprovsu
Sementara perwakilan Biro Hukum Setdaprovsu menerangkan bahwa Gubernur Sumut, sejak tahun 2020 telah memerintahkan supaya terhadap tanah eks HGU PTPN II seluas 5873,6 hektar, harus jelas daftar nominatifnya dan yang bisa dimasukan ke daftar nominatif adalah pihak-pihak yang telah menguasai tanah secara fisik.
Diungkap oleh perwakilan Biro Hukum itu bahwa awalnya tanah di lokasi tersebut seluas 120 hektar telah dimohonkan oleh Wardoyo, tapi ditolak oleh gubernur.
Dibeberkannya juga bahwa ada SK Bupati Deli Serdang yang menetapkan bahwa lahan tersebut bukan lagi lahan pertanian tapi sudah menjadi lahan non pertanian.
“Ada juga gugatan dari Titin Rahayu terhadap PTPN II dan sampai tingkat PK (Peninjauan Kembali-red), PTPN II kalah,” ungkap perwakilan Biro Hukum Setdaprovsu.
Sejak 2004 sudah direkomendasikan dan memantik emosi
Namun terkesan anggota Komisi A yang hadir, diantaranya Rusdi Lubis, Rudi Alfahri Rangkuti, dan Mustofa, lebih berpihak kepada PB. Al Washliyah.
Rudi Alfahri Rangkuti, Sekretaris Komisi A, mengatakan bahwa penundaan eksekusi adalah atas saran Komisi A kepada PB. Al Washliyah karena lembaga tersebut adalah lembaga keumatan.
Selain itu Komisi A, katanya, sejak periode dewan 2014, 2019, dan di tahun 2020 telah merekomendasikan agar tanah seluas 32 Hektar dikembalikan kepada PB. Al Washliyah.
Penjelasan Rudi itu memantik emosi KT. HPPLKN.
“Ada kesan sepertinya Komisi A tidak netral dan membela kepentingan Al Washliyah. Padahal, ini sama dengan seperti berkawan. Saya dan Johan misalnya berkawan. Kemudian kami pun buat kesepakatan untuk membuat surat atas tanah yang kami kuasai. Masing-masing kami berupaya buat surat atas tanah yang sama-sama kami kuasai. Dan pengurusannya juga kami sama-sama tahu. Tapi di tengah jalan, kami seperti bertengkar untuk menentukan siapa yang menguasai tanah. Jadi cerita yang dibuat Al Washliyah itu sama seperti cerita yang saya sebutkan itu,” ucap Unggul menganalogikan masalah.
Rusdi Lubis, anggota dewan lainnya, menyebutkan bahwa PTPN II, meski tanah tersebut sudah dikeluarkan dari HGU-nya, namun secara hukum, PTPN II masih mempunyai hak keperdataan.
Hal senada juga disampaikan Mustofa, anggota dewan lainnya. Dia mengatakan bahwa secara hukum sudah jelas duduk masalahnya bahwa Al Washliyah telah melakukan upaya kepemilikan dengan mengikuti aturan hukum yang ada. Maka niat baik dari Al Washliyah untuk menyelesaikan masalah sengketa kepemilikan melalui cara musyawarah sudah sangat baik.
Kalau memang masyarakat penggarap tidak mau melakukan penyelesaian dengan jalan kekeluargaan, maka supaya dibuatkan saja rekomendasi agar penyelesaiannya lewat jalur hukum.
Pernyataan Mustofa itu didukung oleh Ketua Komisi A, Andre Alfisa yang menanyakan kepada KT. HPPLKN tentang usulan agar diselesaikan lewat jalur hukum.
“Kalau memang tak bisa lagi dimediasi oleh DPRD, kami setuju penyelesaian lewat jalur hukum,” ucap Andre.
Unggul Tampubolon pun kembali menegaskan bahwa masalah penyelesaian melalui jalur hukum tentulah harus dirunut dari awal mula masalah.
“Kami masyarakat kecil. Tak paham dengan hukum. Dan hukum pun saat ini membuat kami bingung. Tapi kalau cuma hanya seperti yang dibayarkan Al Washliyah kepada PTPN II, kami pun sanggup. Bahkan lebih besar bisa kami bayar. Tapi masalah dasarnya adalah apakah BPN sudah ada menerbitkan surat kepemilikan tanah itu atas nama PB. Al Washliyah? Ini dulu yang perlu dipertegas! Bagaimana bisa pengadilan memutuskan tanah itu milik Al Washliyah? Dasarnya apa? Ini yang perlu dipertegas oleh dewan,” kata Unggul.
Diungkap Unggul, PB. Al jam’iyatul Washliyah berdasarkan suratnya dengan nomor Ext-165/PB-AW/XXI/III/2017 bertanggal 23 Maret 2017 yang ditandatangani oleh Yusnar Yusuf sebagai Ketua Umum dan Ahmad Kartono sebagai Wakil Sekretaris Jenderal, yang ditujukan kepada Fachurudin Rifai Law Firm, menegaskan bahwa PB. Al Washliyah tidak tahu menahu dan tidak pernah memberikan kuasa kepada Ismail Effendy terkait sengketa tanah yang terletak di Pasar IV Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli.
Dalam surat tersebut juga secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa tanah tersebut tidak tercatat sebagai aset PB. Al Washliyah.
Kemudian fotocopy surat tersebut dibagikan Johan Merdeka kepada para anggota dewan dan peserta RDP yang hadir, diantaranya dari Polres Pelabuhan Belawan, dan Kodim 0201 Kota Medan.
“Ada apa dengan DPRD Sumut sehingga membela Al Washliyah? Apa ada udang di balik bakwan,” tuding Unggul dan Johan.
Suasana semakin memanas. Masyarakat petani yang hadir pun mulai ribut dan memprotes sikap dewan itu. Mereka menuding kalau dewan tersebut sudah menerima sesuatu dari Al Washliyah.
Johan Merdeka pun meninggalkan ruang rapat yang sudah hiruk-pikuk oleh suara masyarakat yang hadir dalam rapat. Mereka mengolok-olok dewan tersebut. (Tim)
0 komentar:
Posting Komentar